Sejarah Qanun di Aceh
Istilah qanun sudah dikenal sejak masa Kesultanan Aceh, khususnya pada abad ke-16 di bawah pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah II. Saat itu, qanun berfungsi sebagai undang-undang dasar kerajaan, yang mengatur kehidupan masyarakat berdasarkan syariat Islam dan adat Aceh.
Setelah masa kolonial Belanda dan kemerdekaan Indonesia, penerapan syariat Islam sempat meredup. Namun, semangat masyarakat Aceh untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Islam tetap kuat. Hal ini mendapat respons dari pemerintah pusat melalui:
UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh,
UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh,
dan puncaknya, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang secara resmi memberi kewenangan kepada Aceh untuk membentuk qanun sebagai peraturan daerah berbasis syariat.
🛠️ Proses Pembuatan Qanun
Pembuatan qanun mengikuti prinsip legal drafting yang sistematis dan partisipatif. Berikut tahap-tahap utamanya:
Identifikasi Masalah & Naskah Akademik
Pemerintah Aceh atau DPRA menyusun naskah akademik dan menginventarisasi isu-isu yang perlu diatur.
Penyusunan Rancangan Qanun (Raqan)
Draft awal disusun oleh eksekutif atau legislatif, lalu dibahas bersama.
Konsultasi & Partisipasi Publik
Melibatkan MPU, tokoh masyarakat, dan publik melalui dengar pendapat atau sosialisasi.
Pembahasan di DPRA
Raqan dibahas dalam sidang-sidang DPRA hingga disetujui.
Pengesahan oleh Gubernur
Setelah disetujui DPRA, qanun disahkan oleh Gubernur Aceh dan diundangkan dalam lembaran daerah.
Qanun bisa mengatur berbagai hal: mulai dari hukum jinayat, pendidikan, ekonomi syariah, hingga tata kelola pemerintahan.
Sejarah Hukum Cambuk di Aceh
Sejarah hukum cambuk di Aceh berakar dari tradisi panjang penerapan syariat Islam yang telah berlangsung sejak masa Kesultanan Aceh, khususnya pada era Sultan Iskandar Muda (1607–1636). Saat itu, hukum Islam menjadi dasar utama dalam kehidupan sosial dan pemerintahan, termasuk bentuk-bentuk hukuman seperti cambuk.
Namun, setelah kemerdekaan Indonesia, penerapan hukum syariat sempat tergeser oleh sistem hukum nasional. Barulah pada era reformasi, Aceh memperoleh kembali kewenangan khusus melalui:
UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh,
UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus,
dan puncaknya, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (hasil dari MoU Helsinki 2005).
Dengan dasar hukum tersebut, Aceh mulai menerapkan kembali hukum syariat secara formal, termasuk hukuman cambuk sebagai bentuk uqubat (hukuman) atas pelanggaran seperti zina, minuman keras (khamar), perjudian (maisir), dan khalwat (berduaan bukan mahram).
Pelaksanaan hukuman cambuk diatur dalam berbagai qanun, seperti:
Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Larangan Minuman Khamar,
dan Qanun Jinayat Tahun 2014, yang menjadi payung hukum utama untuk pelanggaran syariat.
Awalnya, cambuk dilaksanakan di tempat terbuka sebagai bentuk edukasi dan efek jera. Namun, sejak Peraturan Gubernur Aceh No. 5 Tahun 2018, pelaksanaannya dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan untuk menghindari tontonan publik, terutama oleh anak-anak.
Otonomi Khusus di Aceh
🕊️ 1. Warisan Sejarah dan Identitas Keislaman
Aceh dikenal sebagai daerah pertama yang menerima Islam di Nusantara dan pernah menjadi pusat Kesultanan Islam yang kuat. Identitas keislaman ini sangat melekat dan menjadi dasar kuat bagi masyarakat Aceh untuk mempertahankan nilai-nilai syariat dalam kehidupan sosial dan hukum.
🔥 2. Konflik Berkepanjangan dan Perjanjian Damai Helsinki
Selama puluhan tahun, Aceh mengalami konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik ini berakhir dengan Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005, yang salah satu poin utamanya adalah pemberian otonomi khusus kepada Aceh sebagai bentuk rekonsiliasi dan pengakuan terhadap aspirasi lokal
📜 3. Payung Hukum Khusus
Otonomi khusus Aceh diatur dalam:
UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi NAD,
dan diperkuat oleh UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yang memberikan kewenangan luas dalam bidang pemerintahan, hukum, keuangan, dan budaya.
⚖️ 4. Hak Mengatur Syariat Islam dan Lembaga Khusus
Dengan otonomi ini, Aceh memiliki kewenangan untuk:
Menerapkan Qanun (peraturan daerah berbasis syariat),
Menjalankan Mahkamah Syar’iyah,
Memiliki lembaga adat seperti Wali Nanggroe dan MPU,
Mengelola sumber daya alam dan dana otonomi khusus secara mandiri.






0 Comments